Aku dan Ekosistem Metropolis

(selasa, 3 November 2009)

Lagi, hari ini pun aku berencana mengitari Jakarta, membawa beberapa amplop berisi surat permohonan untuk Job training (aku lebih suka menyebutnya magang) yang nantinya akan aku berikan ke bagian HRD perusahaan ataupun departemen yang menjadi targetanku untuk magang di sana. Hari ini rencananya aku akan meng-apply permohonan magang ke 3 tempat. Dirjen migas, telkomsel dan Indosat. Hmm,, tempat mereka cukup berjauhan satu sama lain. Menaiki Transjakarta pun sepertinya akan memakan waktu lama, karena aku harus berpindah shelter untuk transit. Namun, aku memilih pilihan itu karena Transjakarta atau lebih akrab disebut busway merupakan sarana transportasi umum khas Jakarta yang katanya aman dan nyaman. Lokasi Dirjen migas yang terletak di Kuningan, menjadi target pertamaku karena jaraknya yang cukup jauh, selatan Jakarta. Aku yang berdomisili di ujung utara Jakarta, Tg.priok, harus menyambangi shelter Transjakarta terdekat yaitu yang berada di Cempaka Mas. Hal tersebut dikarenakan koridor Tranjakarta untuk Cililitan – Tg Priok belum beroperasi,, entahlah, sudah hampir 1 tahun shelter – shelter Transjakarta yang tersebar di sepanjang jalur Cililitan – Tg. Priok rampung, namun aktivitas koridor ini belum juga aktif. Parahnya lagi beberapa shelter tidak terurus, berdebu tebal, dan ada juga beberapa coretan iseng yang menambah suramnya tempat tersebut. sangat disayangkan untuk kondisi yang masih bisa dibilang baru karena belum pernah beroperasi.

Jadi, aku harus menuju cempaka mas untuk mencapai shelter busway terdekat. Untuk sampai kesana aku memilih P14 jurusan Tabah Abang dan turun di Cempaka Mas. Sesampainya di shelter Cemas, aku menaiki Tranjakarta jurusan harmoni. Perjalanan pun tidak hanya sampai disitu, sesampainya di harmoni aku harus berganti bus jurusan blok M dan turun di dukuh atas untuk berganti bus sekali lagi sebelum aku sampai di shelter kuningan. Belum apa – apa keringat sudah merembes di kemejaku, perjalanan yang memakan waktu hampir 1 jam setengah ini membuat emosiku naik, ditambah lagi selama perjalanan itu aku tidak dapat tempat duduk. Huff,, sabar,, sabar,, Ac Transjakarta pun sepertinya hanya meniup lembut kemejaku yang lembab karena keringat. Sepertinya kenyamanan yang ditawarkan busway tidak berlaku untukku hari ini.

Untungnya, selama perjalanan Cemas-Kuningan kaca jendela Transjakarta menyuguhkan pemandangan peradaban Jakarta yang membuat aku lupa akan emosiku tadi. Peradaban yang kejam, ketimpangan antara si miskin dan si kaya yang sangat mencolok. Sekali lagi aku berbisik menyebut kata Jakarta. Ada kekaguman sekaligus rasa iba pada kota kelahiranku ini saat mengucap namanya. Namun, selalu saja saat aku melihat geliat kehidupan di kota ini, mataku akan berbinar ketika melihat gedung – gedung dengan beragam bentuk yang unik, modern hingga konservatif tersebar di sepanjang jalan. Lalu, selanjutnya hatiku pun akan meringis tatkala melihat realitas nyata kehidupan jalanan yang keras. Dalam busway yang cukup penuh dengan manusia dan posisi badanku yang berdiri menghadap kaca jendela, aku membayangkan sedang berada dalam sebuah tour Jakarta. Mataku seperti melihat aquarium besar dibalik kaca jendela Transjakarta yang didalamnya berisi ekosistem Metropolis, pikiranku pun melayang akan Jakarta.

Jakarta yang angkuh akan skyscraper-nya, Jakarta yang menantang dengan banyak gedung berlabel perusahaan impian untuk para pencari kerja, Jakarta yang kejam dan kelam bagi pribadi yang tidak bisa bertahan dalam pertarungan hidup di dalamnya. Jakarta. Yah, itulah Jakarta. Setidaknya seperti itu dimataku. Meskipun tata kotanya belum begitu baik karena kurang merata. Namun, laju perekonomian dan pusat pemerintahan menjadikan Jakarta menjadi kota harapan. Tiap tahunnya penduduk Jakarta bertambah. Para pendatang mencoba mencari peruntungan hidup di kota ini. Sayangnya mereka sering gagal dan berakhir dengan masuk ke dalam kalsifikasi ordo pengangguran.

Para developer juga turut berpartisipasi dalam mengindahkan Jakarta. Mereka berlomba membuat gedung perkantoran yang megah, modern, memilki seni arsitektur tinggi dan berfasilitas No.1. Para developer juga membangun hunian apartemen, komplek perumahan sampai tempat rekreasi dan Mall dengan bermacam gaya dan gengsi. Property – property tersebut pastinya bermodal triliunan rupiah. Namun, aku melihat tujuan sebenarnya para developer itu selain membuat Jakarta tampak ber-Gaya, apalagi kalau bukan pundi – pundi rupiah yang dapat melebihi modal awal mereka. Heuumm, Kapitalisasi lewat Arsitektural mungkin. Dapat terrealisasi dengan pasaran property mereka yang harganya melangit. Lagi - lagi Jakarta, kota dengan sistem kapitalisnya yang membelenggu masyarakat-lemah-rupiah sehingga tidak bisa ikut bertarung dalam arena perjuangan hidup. Sangat kontras sekali, dalam waktu yang tidak terlalu lama unit - unit property yang berbanderoll milyaran rupiah tersebut dapat laku dengan cepat ketika masih ada perumahan kumuh dan tak layak huni di sekitar mereka. Nyata. Terpinggirkan. Tak tersentuh. Lalu ketika mall – mall bertebaran dan saling menarik pengunjung dengan evevt – event yang fantastis, sebagian warga Jakarta ada yang kelaparan dan terus berjuang melawan waktu untuk sekedar menyambung hidup dengan bekerja sebisa mereka. Tak peduli itu halal atau tidak. Dan ketika sekolah – sekolah International menjamur di kota ini, ternyata masih ada anak - anak yang memilki hak akan pendidikan, dikerdilkan karena melihat dana bos dan program sekolah gratis sepertinya belum mampu untuk menjadi solusi. Dan mereka pun lebih sering menghabiskan waktu belajar mereka di jalanan. Kehidupan yang sebenarnya.

Mungkin Itulah konsekuensi logis hidup di belantara Jakarta yang memiliki hukum rimba di tengah peradabannya yang cukup modern. Yang kuat dia yang menang. Namun jika yang kuat sudah menang, apakah mereka masih mau berbagi dengan yang kurang beruntung? Aku menatap sekeliling di dalam busway ini, melihat wajah – wajah yang terkesan individualis dalam balutan pakaian kerja mereka, dengan sedikit senyuman miris aku berkata dalam hati, inilah Jakarta yang angkuh, kejam namun menantang. Dan mungkin aku pun juga akan ikut terjun dalam pertarungan hidup di kota yang telah membesarkan aku. Ya, Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar