Aku mencintai Indonesia dengan sedih,,

(Sabtu, 1 November 2009)

Seminggu ini aku merasa tertampar akan keeksisanku sebagai warga negara. Bermula dari film RumaMaida yang kutonton kamis lalu dan berturut – turut berita kasus penangkapan Bibit & Chandra pimpinan nonaktif KPK. Dalam film RumaMaida ada satu scene yang cukup membuatku kembali memikirkan akan arti kemerdekaan. Scene tersebut menceritakan bahwa Ishak Pahing (salah satu tokoh) memikirkan perdebatan yang terjadi antara soekarno dan Hatta-Syahrir tentang mana yang lebih diprioritaskan antara berjuang untuk kemerdekaan dulu baru mendidik bangsa, atau mendidik bangsa dulu baru siap untuk merdeka. Terlebih lagi ada satu kalimat yang diucapkan Ishak Pahing yang membuat saya terenyuh “.. aku mencintai Indonesia dengan sedih..”. Hatiku bertanya apakah harus se-dramatis itu? Dan hati aku pun menjawab dengan lirih, Ya.

Indonesia dengan segala anugerah yang tersimpan di dalamnya, membuat kita yang diatasnya merasa terlalu santai dan acuh. Kita baru akan siaga ketika kita terusik. Penjajahan yang dulu terjadi pun mungkin karena ke-santai-an kita ketika orang asing berkedok pedagang menyadari bahwa ada harta alam namun tidak dijaga dengan sigap, menjadikan Indonesia sebagai target penjajah dan menguras hasil alam kita sebanyak – banyaknya. Setelah sadar akan safezone yang terusik, masyarakat Indonesia baru akan melakukan pergerakan – pergerakan untuk melakukan perlawanan. Namun sepertinya kutukan ini terus terjadi dari mulai masa penjajahan asing sampai penjajahan oleh bangsa sendiri. Ketika aku membaca sebuah buku yang berisi wawancara antara jurnalis asing Andre Vitchek dan Rossie Indira dengan Pramoedya A. Toer yang berjudul Saya terbakar amarah sendirian, hal tersebut membuka mataku akan terror masa orde baru. Aku menyebutnya penjajahan dalam bentuk lain, penjajahan oleh saudara sebangsa dimana Ham dan kebebasan menjadi barang mahal karena hanya bisa ditukar dengan penyiksaan di kamp konsentrasi dan nyawa. Tak ubahnya sekarang, reformasi yang dielu-elukan hanya sebatas kata. Konspirasi – konspirasi yang di dalamnya terdapat berbagai kepentingan, saling berbenturan dan melahirkan pengkhianatan pada dasar dan ideologi negara. Dari peradilan Soeharto yang mengambang, kasus HAM Munir yang carut marut sampai penegakan hukum di negara ini dipertanyakan dengan adanya kasus Penyadapan dan Kriminalisasi KPK. Sungguh sedih melihat carut marut lembaga yang seharusnya meneggakkan hukum malah ikut melakukan konspirasi busuk.

Apakah bangsa Indonesia sesungguhnya sudah siap untuk merdeka kala itu? Mungkin. Tapi melihat situasi sekarang ini, sepertinya sulit untuk mengatakan kita sudah merdeka dari segala penjajahan. Rakyat Indonesia sepertinya belum terdidik secara moral. Karakter yang dimilki pun sebagian masih mewarisi karakter penjajah. Dan menurutku kita masih terjajah dalam ruang yang terkotak – kotak. Pendidikan yang belum merata, kemiskinan, dan perjuangan untuk membela, mencari dan mengungkap kebenaran seperti yang dilakukan Alm. Munir dan lembaga KPK pun sepertinya sangat sulit. Tak ayal seperti hidup dalam masa penjajahan saja. Kebebasan yang dielu-elukan saat reformasi hanya seperti kepulan asap, menguap, terbang hingga tak terlihat.

Kembali ke perdebatan antara kemerdekaan atau menjadi bangsa yang terdidik, apa yang harus dilakukan dengan kemerdekaan yang sepertinya semu ini? Mungkin banyak orang juga punya jalan masing – masing, berjuang untuk sesuatu yang di anggap benar. Namun sekali lagi kebenaran itu juga relatif. Hanya yang punya nurani yang bisa merasakan kebenaran yang sesungguhnya. Dan semoga aku masih punya. Aku kembali mengingat kata – kata Maida akan pendidikan dan jiwa yang merdeka. Bukan hanya kemerdekaan de jure atau de facto saja. Sayangnya, disinilah aku sekarang, di negara yang telah menjadi takdirku. Negara dimana ternyata masih banyak jiwa yang belum merdeka di wilayah yang sudah diakui kedaulatannya di dunia. Aku mencari nuraniku, Aku ingin ia tahu bahwa aku ingin sekali melakukan sesuatu untuk pertiwi ini. Karena aku merasa, aku belum melakukan apa – apa untuk wilayah yang udaranya tiap detik aku hirup dengan rasa syukur. Mungkin kemerdekaan yang aku kecap sekarang masih terasa hambar, tapi bisakah aku membumbuinya dengan memberikan waktuku yang sedikit ini untuk membuat makna di tanah dimana aku hidup? Apakah keingininanku berlebihan? Kurasa tidak. Aku pasti bisa bergerak dengan caraku sendiri untuk memberikan pulasan cinta untuk bangsa ini. Itu pilihan. Dan semoga bukan hanya aku saja yang memikirkan hal itu. Satu pertanyaan terbesar di benakku, apakah harapan akan Indonesia yang merdeka serta terdidik dapat terwujud? Impian yang terlalu muluk mungkin. Namun semua berawal dari mimpi kan? Ya, harapan itu ku amini. Karena aku percaya suatu saat aku dan generasiku nanti harus bisa mencintai Indonesia dengan senyum.

0 komentar:

Posting Komentar