Serpihan kaca

Masalah mulai menjadi sesuatu seperti serpihan kaca yang tak terlihat. Serpihan kaca itu nyata ada, siap untuk menggores kulit. Serpihan itu begitu kecil dan banyak. Tersebar di beberapa titik di sepajang jalan setapak yang berkontur turun naik.

Kemarin salah satu serpihan kaca itu menggores kulitnya. Sakit. Dia menangis. Sedih, namun lebih cenderung kecewa karena serpihan kaca itu sebenarnya dapat ia singkirkan. Namun, semua telah terjadi. Dia pun berusaha mengobati luka akibat serpihan kaca yang menggores kulitnya. Sulit. Karena serpihan itu melukai indra perasanya. Ia mencoba dengan meniup luka itu. Luka itu malah melebar. Rasa nyeri menggerayangi. Lebih sakit. Lebih sedih. Karena ia sangat menyayangi kulit itu. Indra perasanya. Karena dengan kulit itu ia bisa merasakan sentuhan kasih sayang. Yang kemudian meresap ke nurani. Namun kali ini, ia menyayangi kulit itu dengan sedih. Dia sangat berharap luka goresan itu akan segera kering dan sembuh. Namun ia sadar itu butuh waktu. Tapi dalam hati ia berucap janji untuk membuat luka itu sembuh secepatnya. Mungkin jika telah sembuh luka itu akan membekas, ia tahu. Tapi, ia akan membuat bekas luka itu menjadi tidak begitu berarti dan hanya sekedar menjadi pengingat untuk kulit dan dirinya untuk lebih hati – hati dalam melintasi serpihan kaca yang lain.

0 komentar:

Posting Komentar